Selasa, 27 Maret 2012

SMART PARENTING WITH LOVE

Disadur dari Post artikel by Smart Parenting by Bunda Arifah Handayani


Kesetaraan Gender Pengasuhan dan Dual-Parenting, Harus Itu...!!!

by Arifah Handayani on Wednesday, November 24, 2010 at 1:21am ·

Artikel cinta saya akhir-akhir ini sering mendapatkan tanggapan yang cukup menimbulkan gundah di hati, bahwa ternyata Smart Parenting with Love masih sebuah wacana yang belum sampai di tingkat aplikasi yang sesuai dengan harapan dalam pelaksanaannya sehari-hari. Bahkan di rumah saya sendiri.

Banyak dari kita yang akan memberikan apa saja untuk mencerdaskan anaknya dan saya yakin 1000% setiap pasangan orang tua pasti mencintai anaknya. Tetapi ketika bahasan sampai ke masalah ekspresi cinta, komunikasi dan kerjasama antara ayah dan bunda dalam mewujudkan habitat rumah tangga yang siap membangun keluarga penuh cinta, ternyata banyak yang mengaku masih belum berhasil menemukan jalur pergerakan yang harmonis.

Kelebatan pertanyaan yang diajukan beberapa teman, sering membawa saya kembali ke kondisi rumah tangga kami di 5-6 tahun pertama yang nyaris hampir sama. Persoalan yang timbul pun standar bermuara dari komunikasi yang umumnya belum satu frekuensi lengkap dengan semangat ke ‘akuan’ yang masih tinggi, ditambah kegagalan mengekspresikan dan menangkap ekspresi cinta dari pasangan.

Kami berhasil melewati masa sulit itu terutama berkat banyak membaca, tak satupun dari kami yang membuka persoalan dalam negeri ke orang lain. Kami membuka diri terutama tentang info yang berkenaan dengan perbedaan pola komunikasi lelaki dan perempuan. Buku tentang keluarga sakinahpun kami jadikan referensi, meski saat itu rasanya sabar dan ikhlas masih too good to be true, jauh dari kualitas kami.

Kemudian perlahan tapi pasti Kami berhasil menjembatani perbedaan dengan banyak mengakui kelebihan dan kekurangan satu sama lain, terkait dengan cara kami dibesarkan yang sangat berpengaruh pada seperti apa jadinya kami saat itu. Demi kebaikan keluarga kami berjanji untuk bertahan sampai akhir dan bergerak untuk terus memperbaiki diri. Kini sebagai pasangan kami sudah berada dalam proses mewujudkan cinta sejati demi menghadirkan sejatinya cinta dalam kehidupan, Amiin.

Namun sebagai sepasang ayah dan bunda kami masih berproses mendekati track pergerakan yang harmonis. Masih perlu banyak berbenah diri, karena ada Pekerjaan Rumah yang sangat penting untuk segera diselesaikan yaitu kesetaraan peran dalam membesarkan anak. Sehingga anak-anak kami memperoleh habitat yang lebih sempurna untuk tumbuh kembang konsep diri dan kepribadiannya. Hingga kelak berpotensi tumbuh menjadi manusia utuh yang berkarakter kuat demi membangun bangsanya.

Ketika Bunda sudah menyelesaikan tugas hamil, melahirkan dan menyusui sampai tuntas, lengkap dengan pelajaran bergerak, bicara dan membaca dunia. Maka dalam proses berikutnya anak-anak sudah siap menjadi calon warga dunia yang haus untuk belajar dari siapapun, dan ayah adalah sumber ilmu berikutnya setelah ibu sebagai sekolah pertama.

Sayangnya kami adalah produk dari orang tua dan lingkungan yang masih menganut pembedaan pola asuh antara anak lelaki dan perempuan. Meski tidak secara sengaja membedakan, kami menjadi saksi betapa ibu dan bapak dulu mengambil peran yang berbeda di rumah.

Mama dan Ibu Mertua sama-sama Working Mom, tetapi untuk urusan pengasuhan dan pendidikan anak di rumah Papa dan Bapak Mertua sama-sama tidak banyak mengambil peran. Khas gaya pengasuhan dan pendidikan konvensional di mana Ibu memang mendominasi. Sebuah konsep lama yang nyaris sangat sulit dirubah. Hingga jadilah anak lelaki mirror image ayahnya dan anak perempuan duplikasi ibunya, lengkap dengan segala kekurangan dalam kelebihan mereka.

Apakah ini salah..?? Banyak suara yang menyatakan toh dengan cara ini sudah lahir ribuan orang-orang sukses. Saya hanya bisa berpendapat, itukan dulu.. 

Mulai abad ke 21, tantangan zaman sudah tidak sama lagi. Arus globalisasi yang membombardir setiap sendi kehidupan adalah keniscayaan. Mulai dari global warming sampai arus teknologi informasi hingga persaingan mendapatkan taraf hidup yang layak bagi kemanusiaan terjadi dan siap menghembuskan badai di kehidupan kita. Berimbas nyata pada lahirnya berbagai krisis, mulai sosial-politik, ekonomi sampai krisis nilai dan moral. Bahkan agama tinggal berwujud wacana untuk diperdebatkan dan pelajaran di sekolah saja.

Malang sekali nasib anak-anak kita, kalau di situasi seperti ini hanya mendapatkan bekal hidup dari bundanya. Sementara ayah merasa sudah cukup berperan hanya dengan memberi nafkah saja, dengan alasan tidak ada waktu untuk mereka. Sungguh pandangan ini warisan feodalis, sudah tiba saatnya memutus rantai masa lalu, di mana sebagian besar Ayah menyerahkan urusan pengasuhan anak pada Bunda. Karena ada peran penting bagi ayah yaitu menghindarkan Isteri dan Anak-anak dari Api neraka yang harus diemban. Itu adalah tugas hakiki yang wajib dilaksanakan oleh para Ayah amanat langsung Sang Pemilik Hidup. Sepantasnya para ayah menginvestasikan lebih banyak waktu untuk mengambil peran secara aktif di rumah.

Anak-anak kita, baik lelaki maupun perempuan membutuhkan pola asuh dan pendidikan dengan kesetaraan peran orang tuanya, tanpa dominansi ibu, sehingga mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan komplit baik dari ayah maupun bundanya sesuai keunggulan gender masing-masing. Sebab setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi yang lengkap.

Dalam casing feminin seorang wanita terdapat seperangkat potensi fitur maskulin yang kelak dapat digunakan untuk memudahkannya mengerti dunia lelaki yang keras, namun sering kali gagal diaktivasi karena minimnya peran ayah. Hingga ketika ia menikah dan berhadapan dengan figur maskulin suaminya, wanita sering patah hati karena merasa harus menghantam karang ketika ingin memperjuangkan kebutuhan dirinya akan cinta. 

Pun sebaliknya, dalam gagahnya casing seorang pria ada sebentuk fitur feminin yang diselipkan untuk mengerti tentang bagaimana menyentuh dengan penuh cinta sealamiah ibu mengasihi anaknya, yang juga gagal diaktivasi karena mereka lihat ayah tidak melakukan itu. Bahkan ayah sering berteriak dengan gagah, lelaki tidak boleh menangis. Hancurlah kesempatannya untuk mampu mengenali setiap bentuk perasaannya demi menggunakannya untuk kelak mengerti dan mencintai pasangan, serta mengasuh anak-anaknya.

Biarkan setiap anak kita, baik lelaki maupun perempuan merasakan pengalaman lengkap tumbuh dan besar bersama ayah. Berharap untuk melihat anak-anak berkegiatan mulai main bola hingga boneka, mulai membaca buku hingga membantu pekerjaan rumah bahkan memasak bersama ayah.

Selama kegiatan itu ingin sekali mendengar bibir ayah yang lebih sering bungkam menimpali celoteh anak-anak bahkan menjawab pertanyaan mereka dengan mengerahkan segenap kemampuan berpikirnya. Pasti hasilnya akan jauh berbeda daripada yang biasa mereka kerjakan bersama bunda. Meski hanya bisa dilakukan di waktu tertentu, jika diupayakan rutin, maka pengalaman ini pasti akan terpatri sebagai warna tersendiri di dalam tumbuh kembang anak-anak. Pada gilirannya warna dari sentuhan ayah akan membuat hidup anak-anak kita menjadi jauh lebih indah dan membahagiakan.

Sungguh saya berdoa kepada Sang Pemilik Hidup, semoga para Ayah Anak Indonesia segera memahami, bahwa di era ini Dual Parenting dalam Smart Parenting With Love bukan sekedar wacana yang hanya membutuhkan anggukan kepala basa-basi sebagai tanggapan. Tapi sebuah perjuangan untuk menjadikan hidup generasi mendatang lebih baik. Perwujudan cinta sejati dalam kehidupan.

So, Smart Parents.. Yuk kita penuhi bejana ilmu kita dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk membangun potensi anak-anak kita baik lelaki maupun perempun dengan kesetaraan tanpa membedakan gender. Karena kelak meski peran yang diamanahkan semesta pada mereka berbeda, mereka tetap memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengasuh dan mendidik generasi berikutnya.

Get Inspired, Be Inspiring…

1 komentar: